END.
Sinar cahaya putih itu memaksanya untuk segera membuka mata. Maka dengan terpaksa Hima mulai membuka kedua matanya sedikit demi sedikit, asing, tempat ini asing baginya. Ini bukan kamar tidurnya tempat ia biasa terbangun di pagi hari.
Hima mulai memperhatikan sekitarnya, tangan kanannya terhubung dengan alat rumah sakit, begitu juga dengan hidungnya, lalu di sebelah kirinya terdapat sosok Bundanya yang sedang terlelap sambil menggenggam tangannya.
Rumah sakit. Itu yang dapat ia simpulkan setelah mengetahui keadaannya saat ini. Apa yang terjadi pada dirinya sampai bisa berada di sini?
Jeje. Satu nama itu terlintas dipikirannya. Di mana perempuan kesayangannya itu? Apakah perempuan itu tau kalau ia sedang berada di sini? Apakah perempuan itu akan segera datang menjenguknya? Rindu. Ia sangat rindu dengan perempuan itu. Karena hanya pelukan hangat dari perempuan kesayangannya itu yang bisa menjadi obat terampuh untuk dirinya.
“Hima sayang? Aa udah sadar?” suara dari Bundanya itu menghancurkan lamunannya.
“Ya ampun syukurlah.” kini tubuhnya didekap erat oleh sang Bunda, selagi beliau mengucapkan beribu kata syukur karena putra satu-satunya ini telah sadar kembali.
“Bun, Jeje mana? Dia udah tau kalo Hima ada di sini?”
Sang Bunda terlihat bingung, tidak mengerti apa yang baru saja anaknya katakan.
“Jeje? Jeje siapa, a? Temen aa? Kok Bunda gak pernah denger.”
“Jeje pacar Hima, Bunda. Anak gadis kesayangan Bunda, tetangga sebelah rumah kita.” jelasnya panik, entah mengapa hatinya tak tenang mengetahui bahwa Bundanya tidak lagi mengenali kekasihnya itu.
“Aa sebentar ya sayang, Bunda panggilkan dokter dulu. Aa jangan banyak pikiran dan banyak gerak dulu ya.” titah Bundanya.
Kemudian seorang dokter datang bersama dengan dua suster yang mendampinginya. Mereka pun dengan cepat memeriksa keadaannya. Mulai dari denyut jantung, penglihatan, sampai dengan semua alat yang terpasang di tubuhnya.
“Ibu, sekarang kondisi anak ibu sudah dapat dikatakan membaik. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya di mana ia akhirnya dapat tersadar dari keadaan koma yang dialaminya selama dua bulan terakhir ini. Tetapi, mungkin ingatan dan fungsi kerja tubuhnya masih belum maksimal. Jadi mohon untuk dibantu pelan-pelan ya, Bu.”
Koma? Selama dua bulan?
“Bunda ini ada apa sih? Sebenarnya Hima kenapa? Kasih tau Hima, Bunda.”
“Aa tenang dulu ya, Sayang. Iya Bunda kasih tau Aa tapi pelan-pelan ya, a.” Bundanya mencoba menenangkannya. Dielusnya lembut helai demi helai rambut putranya itu.
“Aa, aa inget kan kalo Ayah udah gak ada?” Hima mengangguk. Bundanya masih setia mengusap-usap rambutnya penuh kasih.
“Terus aa inget gak apa yang terjadi hari itu?”
Hima menggeleng.
“Hari itu, di hari pemakaman Ayah, aa terlihat gak baik-baik aja, aa selalu murung sepanjang hari. Putra bunda yang dulu selalu dikenal hangat dengan senyuman manisnya, tiba-tiba hari itu hilang, berubah menjadi awan gelap dengan gemuruh yang menakutkan.”
“Aa menyalahkan diri aa sendiri akibat apa yang terjadi hari itu. Menepis semua fakta kalau itu semua bukan salah aa sayang, tapi itu memang sudah takdir dari Yang Maha Kuasa.”
Hima terdiam mengingat betapa menyakitkannya hari itu. Hari kepulangan Ayahnya. “Terus kenapa sekarang Hima bisa ada di sini, Bunda?”
“Hari itu kamu kecelakaan. Atau lebih tepatnya kamu mencoba mencelakakan diri kamu sendiri. Sore itu, usai pemakaman Ayah, kamu pergi mengendarai motor, padahal di luar sedang hujan deras dan Bunda bahkan gak bisa buat mencegah kamu, a. Saat itu Bunda khawatir, sangat khawatir karena Bunda gak ingin merasakan kehilangan lagi. Bunda cuma punya kamu, Sayang.”
“Sampai akhirnya pukul delapan malam Bunda mendapat kabar kalau kamu mengalami kecelakaan. Hati Bunda hancur untuk yang kedua kalinya hari itu.”
“Tetapi syukurlah ternyata Tuhan masih mau mendengarkan doa-doa Bunda dan Tuhan masih sayang sama kamu. Karena sekarang kamu masih ada di sini bersama Bunda, meskipun harus mengalami masa kritis yang mengkhawatirkan selama dua bulan ini.” Rasa haru terpancar dari raut wajah Bundanya, merasa lega bahwa kini putra satu-satunya itu dapat kembali bersamanya.
Hima masih mencerna setiap kata demi kata yang diucapkan oleh Bundanya itu. Sedikit demi sedikit ingatannya kembali berputar di kepalanya.
Ternyata, beribu-ribu kenangan buruk itu nyata adanya. Sedangkan, kenangan indah yang saat ini ia rindukan hanya bunga tidur semata. Mimpi yang menemaninya selama dua bulan terakhir dalam tidur panjangnya. Semua ini terasa tak adil, mengapa hal itu terasa begitu nyata?
Bagaimana mungkin itu semua hanya mimpi? Bagaimana mungkin hal yang mati-matian ia coba untuk lupakan ternyata nyata adanya sedangkan hal-hal yang sangat ia harapkan terjadi malah hanya sebatas mimpi?
Gadis itu, gadis yang menolongnya bangkit dari keterpurukan, gadis dengan senyuman termanis yang pernah ia lihat, gadis dengan pelukan terhangat yang mampu menenangkannya, gadis yang berhasil membuatnya jatuh sedalam-dalamnya, gadis yang nyatanya tidak pernah ada di hidupnya.
Sekarang ke mana ia harus pulang? Ke mana ia dapat merasakan kembali kebahagiaannya? Rumahnya kini telah hilang, hilang direngkut oleh kesadarannya sendiri.
Andai ia tahu akan seperti ini jadinya, mungkin sebelum terbangun ia pasti sudah akan mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas kasih sayang yang perempuan itu berikan padanya, memeluknya erat, dan enggan untuk melepasnya agar gadis itu dapat terus bersamanya.
Namun sayang semua itu sudah terlambat. Sekali pun ia memaksakan diri untuk kembali tertidur, gadis itu sudah tidak akan ada lagi di sana. Gadisnya telah hilang bersama dengan semua kenangan yang sempat mereka ukir bersama.
“Aa, tadi aa bangun-bangun nanyain Jeje? Jeje teh siapa? Nanti kenalin ke Bunda dong, a.”
“Jeje. Salah satu malaikat cantik yang mungkin sengaja dikirimkan Tuhan untuk jadi obat penyembuh buat Hima. Nanti Hima kenalin kalo dia dateng lagi ke mimpi Hima ya, Bun.”
—fin.