Kenyataan

Rutinitas senin pagi ini dimulai dengan Hima yang telah berhasil menyelesaikan suapan terakhir sarapannya yaitu, seporsi nasi goreng dengan telur dadar keju yang selalu menjadi menu sarapan favoritnya. Tidak lupa ia juga meneguk habis kopi hangatnya pagi ini. “Bunda, Hima berangkat dulu ya.”, ia pun segera bergegas dan berpamitan.

Matahari pagi ini bersinar cerah akan tetapi masih belum dapat menandingi senyuman gadis yang baru saja keluar dari pintu rumah di sebelahnya itu. Balutan atasan berwarna putih yang dipadukan dengan rok cokelat dan juga tas berwarna senada itu berhasil memberikan kesan formal namun masih terlihat santai. Rambut panjangnya yang dibiarkan terurai pun menjadi magnet bagi siapapun yang melihatnya. Cantik, cantik, dan cantik. Bila ada kosa kata lain yang mampu mendeskripsikan kesempurnaan gadis itu maka mungkin Hima sudah memilih kata tersebut.

“Pagi, Him.”

“Pagi, Je. Baru mau berangkat ngantor juga?”

Anggukan kecil gadis itu menjadi jawabannya. “Mau bareng? Kantor lo di daerah mana, Je? Siapa tahu searah.”, tentu saja ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatannya di pagi yang cerah.

Kali ini bukan sebuah anggukan yang menjadi jawabannya, melainkan sebuah gelengan halus yang dibumbui oleh senyuman kecilnya, sangat manis dan sopan, membuat siapapun luluh dibuatnya.

Pada saat yang bersamaan, sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan pagar rumah gadis itu. Kaca depan mobil hitam tersebut pun perlahan terbuka, “Yuk, Sayang.”

Gadis itupun segera menghampiri seseorang yang telah menunggunya di sana. Seraya berpamitan dengan Hima yang masih terdiam di tempatnya.

Sayang. Sayang. Sayang. Ia tidak salah mendengarkan? Tentu saja ia merasa indra pendengarnya masih berfungsi dengan baik. Namun, siapa pria yang menyebutkan kata itu dengan sangat lugasnya? Kemana saja ia selama ini sampai tidak mengetahui bahwa tetangga barunya itu ternyata sudah memiliki seorang kekasih?

Inikah kenyataannya? Apakah di dunia yang berbeda pun ia masih tidak ditakdirkan untuk dapat kembali bersama dengan sang malaikat pelindungnya dan memulai hidup baru yang bahagia sebagaimana mestinya? Kejam, sangat kejam bahwasanya sampai saat ini takdir masih tidak berpihak kepadanya. Sungguh kini ia sudah merasa kalah untuk kesekian kalinya.