Alin dan Candra kini telah kembali ke Ballroom hotel tempat mereka bertemu. Alin pun segera menghampiri Papanya yang diikuti oleh Candra di belakangnya.
“Papa.” panggil Alin
“Loh kamu dari mana aja sayang? Kok gak bilang Papa dulu kalo mau pergi?”
“Maaf, Om. Tadi saya yang ngajak Alin buat pergi cari angin ke luar. Maaf tadi gak sempet minta izin dulu.” jawab Candra menjelaskan.
“Ya ampun Candra. Kamu lain kali kalo mau ngajak anak orang pergi izin dulu dong, Nak. Papi kan gak pernah ngajarin kaya gini.” sela seorang laki-laki yang sejak tadi menjadi lawan bicara Danu, Papa Alin.
“Loh ini anak kamu, Jen?”
“Iya ini Candra anak saya yang tadi sempet saya ceritain.”
“Ya sudah kalo gitu saya sama anak saya duluan ya, Jen. Candra terima kasih tadi sudah mau menemani Alin.”
“Sama-sama, Om. Sekali lagi maaf karena tadi saya gak izin dulu buat ajak Alin pergi, Om.”
“Nggak apa-apa Candra. Kapan-kapan kamu main ke rumah ya, biar Alin ada temennya.”
“Iya Om. Kapan-kapan nanti saya mampir.”
Dan sebelum Alin berlalu, Candra menahan tangannya sebentar, “Alin, thanks buat yang tadi.”
“Sama-sama dan makasih juga. Gue gak jadi bosen di sini sendirian.” Alin tersenyum dan pergi mengikuti Papanya.
Malam ini Alin sudah berada di dalam Ballroom salah satu hotel ternama. Tempat ini sangat ramai dipenuhi oleh orang-orang yang bahkan tidak satu pun ia kenal, membuatnya harus menyendiri di pojok ruangan sambil menunggu Papanya yang sedang asyik berbincang dengan rekan kerjanya.
“Orang tua lo dateng juga?”
Alin menoleh kearah sumber suara.
“Candra? Lo di sini juga?”
“Keliatannya?” jawabnya balik melempar pertanyaan kepada Alin.
Alin hanya mengangguk menghindari situasi canggung diantara mereka.
Seharusnya Alin senang karena ia dapat menemukan seseorang yang ia kenal di sini, setidaknya ada orang yang dapat ia ajak berbicara untuk menghabiskan malam yang sangat membosankan ini. Tetapi melihat sikap Candra barusan, sepertinya ia tidak bisa berharap banyak.
Namun, tiba-tiba Candra meraih tangan Alin dan membawanya menuju ke mobil. Membukakan pintu untuknya dan menyuruhnya masuk ke dalam. Alin mengerutkan keningnya, bingung dengan situasi yang sedang ia alami.
Melihat ekspresi bingung Alin yang meminta penjelasan membuat Candra kemudian berkata, “Acaranya masih lama. Dari pada lo bosen di sini, mending temenin gue cari angin.”
“Tap-”
Belum sempat Alin menjawab, Candra sudah lebih dulu menyuruhnya masuk dan menjalankan mobilnya bergabung dengan kemacetan di depan sana.
“Gue laper tapi jalanan macet banget. Kalo kita jajan di street food sini aja gakpapa kan?”
“Hah? Iya gapapa kok.”
“Yaudah pake ini. Angin malem dingin dan baju lo terlalu kebuka. Gue tunggu di luar” Candra menyerahkan jasnya pada Alin dan keluar lebih dulu dari mobilnya.
Sesuai janjinya, Davian benar-benar dengan suka rela mau mengantar-jemput Alin ke sekolah. Alasannya simple yaitu, karena rumah mereka searah, lalu agar Alin dapat menghemat ongkos dan ia pun senang menghabiskan waktu bersama Alin.
Seperti sore ini, Davian baru saja mengendarai motornya keluar dari gerbang sekolah mereka.
“Alin lo ada yang mau dicari gak? Atau mau kemana gitu? Biar gue temenin.”
“Gak ada sih, Dav. Tapi gue belum mau pulang.”
“Oke tenang. Gue bakal ajak lo menjelajah tempat-tempat baru lagi kalo gitu. Siap-siap, pegangan biar aman, Lin.”
Alin pun menurut dan perpegangan pada jaket Davian.
Berkeliling kota sehabis pulang sekolah menjadi rutinitas baru bagi Alin dan Davian. Davian dengan senang hati akan menunjukan tempat-tempat baru yang belum diketahui oleh Alin. Maklum, Alin bukan orang asli sini.
Dan biasanya sebelum mengantar Alin pulang, Davian akan selalu menyempatkan diri untuk mengajak Alin makan terlebih dahulu, sebab ia tau bahwa jika di rumahnya nanti Alin akan makan malam sendirian.
Setibanya di kantin, Alin segera mencari keberadaan Candra dan ternyata ia sedang menikmati makanannya sendirian di lorong kantin.
“Candra? Yang kemaren utang gue sama lo berapa? Ini biar gue ganti.”
“Duduk.”
“Hah?”
“Duduk.”
Walaupun bingung dengan ucapan Candra yang ada di hadapannya tetapi Alin tetap menurutinya.
“Lo pesen aja. Makan dulu.”
“Eh? Gausah, Can. Gue gampang makannya nanti aja. Gue ke sini mau langsung ganti uang lo yang kemaren.”
“Utang lo lunas. Sebagai gantinya lo ikutan makan aja di sini temenin gue. Jam istirahat udah mau abis, terus lo mau makan kapan?”
Alin kembali menatap Candra bingung.
“Udah buruan pesen makan Alin. Utang lo mau lunas gak?”
Alin pun kemudian mengambil sebungkus roti untuk ia makan. Jujur saja, sekarang ia sedang tidak lapar tetapi ia tetap menuruti perkataan Candra sebab ia takut dengan sikap dinginnya itu.
Keduanya hening menikmati makanan mereka masing-masing.
Sampai akhirnya Candra yang lebih dulu bangun dari kursinya dan berkata, “Lain kali kalo emang lo lagi butuh bantuan, gak usah takut buat minta tolong. Ke gue juga gak masalah.”
Alin mengangguk. “Iya.. makasih kemaren lo udah mau nolongin gue. Tapi ini beneran gue gak perlu ganti uang lo?”
“Gak usah. Utang lo udah lunas.” jawab Candra sambil berlalu kembali menuju kelasnya.
Setelah sampai di sekolah, Alin masih terdiam memikirkan apa yang harus ia katanya kepada bapak ojek yang telah mengantarnya.
“Dek, ini udah sampe.”
“Eh? Iya pak..” Alin membuka helmnya lalu turun.
“Pak maaf tapi dompet saya ketinggalan dan saya gak ada uang cash. Aduh gimana ya bayarnya, Bapak ada nomor rekening? Nanti saya transfer aja ongkosnya ke bapak gimana?” ucap Alin bingung.
“Berapa Pak ongkosnya? Biar saya aja yang bayar dulu.” seseorang tiba-tiba menghampiri mereka.
“Lima belas ribu, Mas.” jawab bapak ojek yang mengantarkan Alin.
“Ini ya, Pak.” Kemudian orang itu memberikan uangnya dan pergi begitu saja.
Alin mencoba mengejarnya tetapi orang tersebut sudah terlalu jauh di depannya.
“Makasih, besok gue ganti uangnya.” Alin tidak tau apakah ucapannya tersebut akan didengar oleh orang tersebut atau tidak.
“Ini kita mau kemana, Dav?” tanya Alin yang sudah duduk manis di belakang Davian yang sedang mengendarai motornya.
“Emang biasanya kalo cari makeup gitu di mana, Lin? Di Mall ada kan ya?”
“Iya ada kok.”
“Yaudah kita cari ke sana dulu ya, Lin.”
Lalu Davian pun mengendarai motornya menuju salah satu Mall di kota mereka.
“Lin kakak gue nitip minta beliin lipstick yang warnanya pink-pink mauve katanya, tapi gue gak tau itu jenis warnanya gimana. Lo ngerti kan, Lin?” ucap Davian frustasi mencoba menjelaskan apa yang ia maksud.
“Iya, gue ngerti kok, Dav. Nanti gue bantuin cari.”
“Nah gak salah emang gue ngajak lo.”
Mereka pun pergi berkeliling memasuki beberapa toko kosmetik yang ada untuk mencari barang titipan dari kakak Davian.
“Alin thanks banget lo udah mau nemenin gue nyari nih lipstick yang menurut gue warnanya sama semua.” ucap Davian setelah selesai membayar barang titipan kakaknya tersebut.
“Sama-sama Davian.” balasnya sambil terkekeh.
“Lo ada yang mau dicari gak, Lin? Apa mau langsung pulang?”
“Palingan gue mau beli makanan dulu sih Dav buat di rumah.”
“Oh yaudah ayo gue temenin. Orang tua lo lagi gak masak?”
Alin hanya menggeleng menjawabnya.
Sore itu Alin masih berada di sekolahnya, menunggu pesanan ojek onlinenya datang setelah mendapatkan kabar bahwa Papanya tidak jadi menjemputnya.
Saat sedang asik berkutat dengan ponselnya, tiba-tiba sebuah tangan terulur di depannya.
“Davian.” ucap siswa laki-laki itu, membuat Alin menatapnya bingung.
“Gue Davian. Temen sekelas lo. Lo anak baru yang masuk kelas gue kan?”
“Oh iya. Gue Alin.” jawabnya singkat.
“Hahaha iya gue tau kok nama lo. By the way kok lo belum pulang, Lin? Nungguin apa udah sore gini?”
“Ojek online. Eh itu udah dateng. Gue duluan ya....?”
“Davian, nama gue Davian.”
“Oke, gue duluan, Davian.”
“Hati-hati Alin. Sampe ketemu besok.”