haechilove

Setelah menempuh perjalanan menggunakan MRT sekitar satu jam, akhirnya mereka sampai di salah satu restoran seafood yang Karin maksud. Keadaannya cukup ramai melihat bahwa hampir semua meja dipenuhi oleh pengunjung.

Mereka berlima memutuskan untuk membeli semua jenis makanan seafood yang ada untuk dimakan bersama. Semua sudah mulai menyantap hidangan yang ada di depan mereka dengan nikmat, kecuali Asya yang masih berjuang untuk menikmati kepitingnya.

“Makan yang ini aja, Sya. Udah gue buka.” Mika menukar piring Asya dengan piring miliknya yang berisi daging kepiting siap santap.

“Eh? Beneran gapapa nih, Mik?”

“Iya gapapa makan aja. Nanti kalo kurang bilang gue biar gue bukain lagi.”

“Hahaha okay. Lo juga makan.”

“Iyaa. Makan yang banyak, Sya.” jawab Mika sambil menepuk ujung kepala Asya gemas melihat gadis itu menyantap kepitingnya dengan lahap.

Pagi ini, Asya, Karin, Hansel, Rendi dan Mika sudah tiba di Terminal 3 Bandar Udara Soekarno Hatta. Mereka sedang menunggu jadwal keberangkatan pesawat mereka menuju Singapura. Semua barang bawaan sudah tersusun rapih dan dipastikan tidak akan ada yang tertinggal.

“Kenapa lo, Sel?” tanya Rendi saat menyadari wajah pucat Hansel.

“Nggak.”

“Gak sarapan ya lo tadi? Gara-gara kesiangan? Ngomong anjing kalo sakit biar gak nyusahin banyak orang.”

“Hansel kenapa, Ren?” tanya Asya yang langsung menghampiri mereka berdua setelah mendengar perkataan Rendi barusan.

“Si Hansel pucet, sakit kayanya belum sempet sarapan dia. Ini anak emang tiap pagi harus sarapan karena lambungnya banyak mau.” jelas Rendi.

Asya kemudian langsung menyodorkan sekotak brownies yang dibuat oleh mamanya tadi pagi. “Nih tadi pagi nyokap gue buat masih ada.”

“Gausah.”

“Muka lo pucet, Hansel.”

“Gue gakpapa.”

“Ambil sendiri apa gue yang nyuapin ke mulut lo?”

“Oke, fine.” Hansel menyerah.

“Ih kalo gue jadi lo mah mending disuapin Asya dah.” timpah Rendi membuat Hansel menatapnya malas.

Hansel sedang asyik memainkan sebuah game di handphonenya sampai seseorang datang ke mejanya.

“Tuh dompet lo.” ucap Hansel tanpa memalingkan wajah dari layar handphonenya.

“Salam dulu kek. Basa-basi nyuruh duduk gitu.” jawab Asya kesal. Lalu ia segera duduk di hadapan Hansel tanpa diminta.

“Ngapain?”

“Duduk.”

“Iya ngapain duduk disini?”

“Emang kenapa sih? Lo phobia deket-deket sama gue apa gimana?”

“Iya. Lo nyusahin.”

Asya hanya memutar bola matanya menanggapi ucapan Hansel barusan. “Makasih udah balikin dompet gue.”

“Hm.”

Untuk beberapa saat mereka berdua terdiam larut pada kegiatan masing-masing. Sampai akhirnya Hansel bangkit dari kursinya ingin bergegas pergi.

“Kenapa lagi?” tanya Hansel ketika merasa ada yang menahan ujung jaketnya.

“Mau nebeng pulang boleh?”

“Gak.”

Handphone gue barusan mati karena batrenya lowbat, gak bisa pesen ojek online.”

“Bukan urusan gue.” Hansel kembali beranjak. Tetapi Asya tidak menyerah, “Udah malem, nanti gue pulangnya gimana?”

Hansel menghembuskan napasnya kasar.

Please ini terakhir kalinya lo nyusahin gue.”

“Gak janji.”

Akhirnya hari yang ditunggu pun tiba, hari dimana peserta yang lolos seleksi tertulis harus kembali mengikuti seleksi selanjutnya yaitu, seleksi wawancara.

Di dalam aula sudah ada 25 mahasiswa yang sedang menunggu giliran mereka untuk diwawancarai oleh salah satu Profesor terbaik di kampus mereka. Tentu suasana tegang sudah menyelimuti para peserta seleksi sedari tadi.

“Lo bisa berhenti mainin pulpen lo gak? Ganggu banget berisik.”

“Eh? Sorry gue gugup.” jawab Asya menghentikan kegiatannya memencet-mencet ujung pulpen.

“Kaki lo.”

Asya menoleh sebab pria di sampingnya kembali mengajaknya berbicara. “Aduh sorry-sorry gue gak bisa diem kalo lagi gugup. Emangnya lo gak gugup apa?”

Tidak ada jawaban.

“Lo beneran ngomong cuma buat ngomelin gue doang ya?” tanya Asya kesal.

Belum sempat Hansel memberi jawaban, petugas sudah memanggilnya untuk masuk ke ruangan. Meninggalkan Asya yang semakin kesal karena kembali diabaikan.

Asya keluar dari ruangan dengan wajah pasrah. Ia baru saja mengerjakan tes tertulis untuk seleksi program exchange yang ia ikuti. Sebenernya Asya dapat mengerjakan tes tersebut dengan baik, akan tetapi melihat bahwa ada ratusan mahasiswa dan mahasiswi yang juga sedang berada di tempat yang sama dengan tujuan yang sama dengannya membuatnya sedikit pesimis. Bisakah ia menjadi salah satu dari kelima orang yang berhasil untuk mengikuti program tersebut?

Namun, lamunannya buyar ketika ada seseorang yang menghalangi langkahnya.

“Lo cewek yang waktu itu numpahin kopi ke celana gue kan?”

Asya mengadahkan wajahnya agar dapat melihat lawan bicaranya. Wajahnya sontak kaget mengetahui bahwa yang ada di depannya saat ini adalah seseorang yang paling ia ingin temui dan hindari.

“Eh.. anu, iya. Sorry banget. Waktu itu gue beneran gak sengaja dan gak liat kalo ada lo di belakang gue.” jawab Asya mencoba memberi penjelasan.

“Gara-gara lo kopi gue tumpah, celana gue kotor, dan bahkan paha gue yang kena siram jadi merah dan perih banget, tiga hari baru sembuh.” cecar Hansel kesal mengingat kejadian yang menimpanya beberapa waktu lalu.

“Sumpah separah itu? Sekarang gimana? Udah sembuh belum? Perlu diobatin lagi gak?”

“Telat. Udah sembuh. Paha gue udah kembali mulus kek paha ayam KFC.”

“Mau.”

“Hah? Mau apa anjir? Paha gue bukan konsumsi publik.”

“MAU PAHA KFC LAHH.”

“Oh kirain.”

“Lo temenin gue makan ya? Sekalian gue traktir deh sebagai ganti rugi kopi lo yang tumpah kemaren. Lagian si Karin temen gue masih tes, jadinya gue gak ada temen nih.”

“Gue juga bukan temen lo.”

“Yaudah bukan sebagai temen. Tapi sebagai pelaku yang ingin memberi ganti rugi kepada korban.”

“Oke.”

Siang ini, Tara, Geya, Andra dan Iyan telah tiba di bandara Soekarno-Hatta untuk mengantarkan Dira yang akan segera pergi ke Australia.

Tidak, Dira tidak pergi untuk waktu yang lama. Ia hanya akan menghabiskan waktu libur semesternya selama dua minggu di Australia bersama keluarganya.

Selain ingin mengantarkan Dira, di sisi lain Tara juga masih penasaran dan berharap dapat menemukan jawaban dari game terakhirnya. Sebab kini ia telah berada di tempat yang sama dengan clue yang diberikan untuk game terakhirnya. Tetapi sejauh penglihatannya tidak ada hal-hal yang mencurigakan.

“Hati-hati lo. Jangan lupa bawain gue oleh-oleh yang banyak.” kata Iyan sambil merangkul Dira.

Safe flight, bro.” kini gantian Andra yang berpamitan dengan Dira.

“Dir, safe flight ya. Di sana kalo ada make up murah kasih tau gue. Ntar gue jastip di lo.” Dira hanya ngangguk mendengar permintaan Geya.

“Dira, hati-hati ya lo. Safe flight dan semoga liburan lo menyenangkan. Jangan lupa balik lagi ke sini. Ntar lo malah kepincut bule di sana lagi.” ucap Tara bercanda.

“Hahaha iya Tar. Gue pasti balik lagi kok. Lagian juga ntar ada yang nungguin gue di sini.”

“Siapa?”

“Lo.”

“Ih geer banget anjir. Kata siapa gue bakal nungguin lo?”

“Kata gue, lo pasti nanti nungguin gue. Nih. Bacanya di rumah aja. Siapa tau nanti kangen.” Dira menyerahkan sebuah surat pada Tara.

“Ini apaan?”

“Hadiah.”

Segelas minuman dingin terulur di hadapan Tara yang sedang duduk beristirahat setelah bermain banyak wahana yang ada.

Tara mengangkat kepalanya, “Hm? Buat gue?”

“Iya, tenggorokan lo kering pasti abis teriak-teriak.”

“Hehe makasih, Dir.” Dira pun mengangguk dan duduk di sebelah Tara.

“Seneng gak?”

“Apanya?” Tara menoleh pada Dira.

“Hari ini, main di sini. Seneng gak?”

“Seneng banget. Apalagi bareng kalian, soalnya kan kita jarang main ke tempat kaya gini. Iya walaupun si Iyan ada aja tingkah ajaibnya tapi gapapa sih lucu. Gue tetep seneng.” jawab Tara sambil tertawa mengingat peristiwa Iyan muntah sehabis menaiki wahana rollercoaster tadi.

“Syukur deh kalo lo seneng. Terus next time lo mau kemana lagi? Ada hal yang mau lo lakuin gak?”

“Hm, apa ya? Gue pengen nonton konser. Konsernya the 1975. Ih pasti seru deh.” jawab Tara semangat.

“Iya gue juga suka mereka.”

“Hahaha iya kan emang cuma lo sama gue yang suka the 1975 diantara anak-anak. Kalo lagunya kesetel di mobil pasti cuma lo sama gue doang yang nyanyi. Yang lain sibuk minta ganti lagu hahaha.”

“Hahaha bener. Mereka mah senengnya lagu dangdut.”

“Itu mah si Iyan rajanya, hahaha.”

“Yaudah nanti nonton konser the 1975 sama gue ya. Sekarang ayo main lagi, keburu malem.” Dira mengelus rambut Tara lembut sebelum ia bangkit dan mengantri wahana selanjutnya.

“Tara keripik lo gue abisin yaa.” teriak Iyan dari dapur.

“Anjing ini yang belajar cuma gue sama Dira doang, lo semua kalo ganggu mending pulang aja dah.” jawab Tara menyadari kegiatan teman-temannya.

Geya sedang menonton series netflixnya bersama Andra di ruang tengah dan Iyan sibuk menghabiskan cemilan Tara di dapur.

“Biarin aja Tar. Besok kalo pada gak bisa jawab gak usah di kasih contekan.” ucap Dira tenang.

“Temen-temen lo tuh Dir kelakuannya pada ajaib semua.”

“Temen lo juga anjir.” Tara hanya terkekeh mendengarnya.

“Eh Dir lo laper gak? Gue laper nih, gila otak gue panas dari tadi liatin nih rumus-rumus mulu. Mana si Iyan berisik banget lagi teriak-teriak dari tadi.”

“Mau cari makan keluar? Ayo.” ajak Dira bangkit dari duduknya dan mengulurkan tangannya pada Tara.

“Yang lain gak diajak?”

“Gak usah, mereka udah gede bisa cari makan sendiri. Nanti nyusahin kalo diajak. Apalagi si Iyan.”

“Hahaha yaudah ayo.” jawab Tara, meraih tangan Dira dan bangun dari tempat duduknya.


“Mau makan apa, Tar?” tanya Dira yang masih fokus menyetir di sebelahnya.

“Apa ya.. drive thru Mcd? Apa hokben? Eh apa ayam geprek? Menurut lo enak yang mana Dir?”

“Enak semua asal makannya sama lo.”

“Yeee lo tiap hari di sekolah juga makannya bareng gue sama anak-anak kali. Serius ah.”

“Hahaha. Yaudah hokben aja mau? Lo kan suka banget tuh sama saladnya.”

“Okedeh, ayo hokben aja kalo gitu.”

“Siap meluncur ayang.”

“DIRAA GUE PUKUL LO YA, GELI BANGET KAMPRET.” Tara memukul pelan bahu Dira.

“Hahahaha ampun ih. Kan biar gemes kaya Geya sama Andra tau.”

“Kenapa, Tar?” tanya Dira yang baru saja datang menghampirinya memberikan titipan makanan dari Geya.

“Gapapa, ngantuk gue.”

“Makan dulu itu sebelum diomelin Geya. Satu kelas bisa panas kupingnya kalo Geya udah ngomel.”

“Hahaha iya-iya. Makasih, Dir.”

Tara menikmati makanannya dalam diam ditemani oleh Dira yang asyik memainkan handphonenya.

“Dir, lo percaya gak kalo ternyata squid game itu beneran ada dan nyata?” tanya Tara tiba-tiba.

“Hah?”

“Iya itu squid game drama korea yang pernah kita tonton bareng anak-anak. Menurut lo permainan kaya gitu beneran ada gak aslinya?”

“Iya gak ada lah Tara. Kalo pun ada, siapa juga yang mau ikutan? Permainannya serem gitu dan kemungkinan lo mati lebih gede dari pada menangnya.” jawab Dira.

“Ih tapi kalo ternyata permainannya gak susah? Bisa aja kan?”

“Hahaha lo kenapa deh? Abis mimpi apaan semalem? Atau jangan-jangan lo abis diajakin main squid game sama orang asing?”

“Hah nggak. Orang gue penasaran aja gitu siapa tau ada kan nyata permainan kaya gitu di sini.”

Tara kembali berkutat dengan pikirannya sendiri. Sejujurnya ia masih penasaran dengan pesan dari orang asing yang mengirimkan foto melalui airdropnya tersebut dan mengajaknya memainkan sebuah permainan. Sebab kini sudah tiga hari dan pesannya tidak kunjung mendapat balasan.

Kayanya gue beneran ditipu deh. Mungkin itu orang mau ngisengin gue doang kali. Kenapa juga gue ladenin sialan, ujar Tara dalam hati.

Hari yang ditunggu-tunggu oleh semua siswa SMA Neocity pun tiba yaitu, hari di mana mereka akan berangkat untuk karya wisata bersama dan tidak perlu mengikuti jam pelajaran. Tempat yang akan mereka kunjungi adalah Museum Nasional. Di sini mereka akan ditugaskan membuat laporan tentang salah satu karya yang mereka sukai.

Kini Davian, Alin, Candra, dan Dewa mulai berkeliling mengamati karya-karya yang ada di sekeliling mereka. Davian dan Dewa yang kebetulan hari ini sedang membawa kamera mendapatkan tugas untuk mengambil beberapa gambar untuk dimasukan pada laporan mereka. Sedangkan Alin dan Candra bertugas mencatat sejarah dan keterangan yang mereka dapatkan dari karya-karya yang ada di sana.

“Kalo jalan liat-liat, jangan sambil nulis.” Candra menahan jidat Alin yang hampir saja menabrak pintu kaca di depannya.

“Hehehe, sorry.”

“Ini kita nunggu Davian sama Dewa di sana aja deh. Capek gue.”

“Iya boleh.”

Mereka pun langsung menuju ke salah satu gazebo yang ada di depan museum.

“Lin, gue ke sana bentar ya.” pamit Candra yang hanya dibalas anggukan oleh Alin.

Tidak lama kemudian Davian dan Dewa pun datang. “Loh Candra mana, Lin? Kurang ajar malah ninggalin lo sendirian di sini tuh anak.” tanya Davian yang baru saja datang.

“Nggak kok. Barusan banget Candra pamit ke sana bentar katanya.”

“Yaudah nih minum dulu, tadi gue liat ada yang jual susu cokelat kesukaan lo.” Davian langsung duduk di sebelah Alin bersama Dewa.

“Kebiasaan banget selalu beliin gue susu cokelat, tapi makasih yaa.”

“Iya lo kan kaya bayi minumnya susu mulu.” jawab Davian sambil mengacak-acak rambut Alin gemas.

Dan saat itu juga Candra baru saja datang sambil membawa dua botol minuman yang ia beli.

“Woi dari mana lo? Ninggalin Alin sendirian di sini.” ucap Davian setelah menyadari kedatangan Candra.

“Beli minum, haus gue.”

“Buset haus apa haus nyet sampe beli dua botol?” ejek Dewa ketika menyadari bahwa kini Candra sedang memegang dua botol minuman.

“Hah? Enggak. Kelebihan. Nih buat lo.” jawabnya sambil melempar satu botol pada Dewa.

“Tumben dah.”