haechilove

Benar saja, ketika Kleo mengatakan bahwa ia ingin menghabiskan malam ini bersama dengan Leona, ia benar-benar melakukannya. Kleo dengan sengaja tidak langsung mengantarkan wanita itu kembali ke hotel tempat ia menginap, melainkan mengajaknya untuk menikmati suasana malam kota London dari monumen legendaris, London Bridge.

Sudah sekitar lima belas menit mereka habiskan untuk berjalan menelusuri jembatan kokoh yang dihiasi oleh kerlap-kerlip lampu yang mempercantik pemandangan malam ini. Yang berarti sudah lima belas menit pula telapak tangan kanan milik Leona mendapatkan kehangatan dari genggaman besar Kleo dan jaketnya. Dingin, itu alasan klise yang Kleo lontarkan agar dapat menggenggam tangan mungil itu dan memasukkannya ke dalam saku jaket miliknya. Dan tidak ada penolakan dari sang empunya.

Setelah cukup lelah mengagumi apa yang ada di hadapan mereka, akhirnya Kleo mengajak Leona beristirahat di salah satu bangku kosong di tepi sungai itu. “Sini.” ia menepuk ruang kosong di sebelahnya.

Keheningan pun melanda, mereka berdua larut dalam pikiran masing-masing, ditemani oleh hembusan angin yang kian menyapa wajah mereka. Namun, keadaan itu tidak bertahan lama sebab satu kalimat mampu memecahkan keheningan diantara keduanya, “Le, gue boleh jadi fans lo gak?” Kalimat itu mampu membuat Leona memalingkan wajahnya.

“Kita tukeran peran. Gue mau jadi orang yang bisa ngagumin lo dan tau semua tentang lo.”

“Dan gue juga mau jadi orang yang bisa dengan seluasa nyeritain apapun yang lagi gue alamin ke lo. Kaya apa yang biasa fans-fans gue lakuin di dm instagram gue haha.”

You don't need to do anything. You just need to be there.

Leona mencoba menatap pria dihadapannya lekat-lekat. “Lo gak perlu jadi fans gue dulu biar bisa ngelakuin itu semua, Kleo. Just do it. I'm here for you. Lo gak tau kalo gue ini multitasking? Gue bisa jadi apa aja. Jadi fans lo, temen lo, sahabat lo, musuh lo, manager lo, apa aja. I can be anything for you.”

“Kalo jadi pacar gue bisa gak?”

You cross the line, Sir.” jawab Leona sambil mendesus. “Hahaha ok sorry. But i bet soon you'll take that role too.

Leona memalingkan wajahnya tanpa menanggapi perkataan Kleo barusan. Karena ia sendiri takut mungkin saja kalimat itu menjadi kenyataan.

Kleo memarkirkan mobilnya di depan salah satu toko roti di pusat kota London. Steffia, stylistnya itu yang saat ini sedang pulang bersamanya mengajaknya untuk mampir sebentar ke salah satu toko roti terkenal di daerah sini. Sebab wanita itu sangat ingin mencobanya dan memaksanya agar dapat mengantarnya ke sini sebelum kembali ke hotel.

Lelah yang ia rasakan sehabis berjam-jam ia habiskan untuk latihan tadi sungguh menguras energinya, membuatnya lebih memilih menunggu wanita itu di dalam mobil daripada harus ikut masuk ke toko tersebut. Toko roti itu terlihat sangat ramai, terbukti dari antrian yang memanjang di depannya dan sudah sekitar empat puluh lima menit Steffia belum kunjung kembali. Membuatnya jenuh menunggu.

Akhirnya Kleo memutuskan untuk keluar dari mobilnya untuk sekedar menghirup udara segar dan meregangkan tubuhnya. Terlihat banyak sekali manusia yang sibuk berlalu lalang dan menikmati aktivitas mereka masing-masing sambil ditemani oleh keindahan kota London. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa London adalah salah satu kota dengan sejuta pesona yang mampu menarik semua pasang mata untuk datang dan melihatnya.

Big Ben, London Eye, Tower Bridge dan masih banyak lagi tempat-tempat menarik lainnya yang dapat mencuri hati para tourist untuk berkunjung ke kota ini. Namun, bagi seorang Kleo Dashiell Egra, saat ini ada hal lain yang lebih menarik daripada itu semua, yaitu seorang wanita yang dengan tenang sedang menikmati segelas kopinya di tengah keramaian kota London. Wanita itu terlihat sedang menunggu seseorang.

Hi, excuse me.” seorang anak laki-laki berusia sekitar 8 tahun datang menghampiri Leona. “Oh, hi. What's your name?

Anak laki-laki itu pun memperkenalkan dirinya, “Andrew. My name is Andrew.” seutas senyum terukir dari wajahnya yang menggemaskan. “Nice to meet you, Andrew. My name is Leona. What brings you here? Are you lost?

Andrew menggelengkan kepalanya, ia menoleh kebelakang memastikan orang itu ada di sana. “The guy right there said that you're so pretty.” jawabnya. Leona mengikuti arah pandang anak itu dan mendapati Kleo sedang bersandar pada mobilnya sambil memperhatikan mereka. Sungguh pria itu tidak pernah kehabisan akal untuk menggodanya. “Thank you, Andrew. And please say thank you for him too. I really appreciate it.

Ia mengangguk, “And I think he likes you.” bisiknya sebelum akhirnya berlari kembali menghampiri Kleo di sebrang sana. Dua laki-laki itu lalu saling melempar high five sebagai tanda bahwa misi yang mereka jalankan berhasil. Membuat Leona mengangkat sudut bibirnya, entah apa alasannya, apakah karena gemas melihat tingkah yang dilakukan oleh Kleo dan juga Andrew atau karena kalimat terakhir yang diucapkan oleh anak berusia 8 tahun itu kepadanya.

Setelah mendapatkan pesan singkat dari Kleo, Leona pun segera bergegas menghampiri pria yang telah menunggunya di bawah. Pria yang tengah bersandar pada badan mobilnya itu ternyata sudah memperhatikannya sedari ia keluar melewati pintu utama hotel tempat ia menginap. “That's jacket looks good on you.

Leona memperhatikan kembali penampilannya. Saat ini ia memang sedang mengenakan jaket pemberian dari pria itu. Jaket tebal berwarna cokelat gelap yang mampu memberikan hangat pada tubuhnya. “Thank you. For the jacket and the compliment.”

Tujuan utama mereka hari ini adalah The British Museum. Ya, tentu saja Kleo memilih museum sebagai tempat mereka berkencan hari ini. Mengetahui bagaimana wanita itu sangat menyukai seni. Matanya yang akan membesar dan berbinar ketika mendapati sebuah lukisan yang ia kagumi, serta senyumnya yang tak pernah luntur ketika ia menunjukkan hasil jepretannya yang tak kalah indah. Di samping itu, Kleo juga menyukai seni, walaupun fokusnya ada pada musik, akan tetapi menghabiskan banyak waktu di museum juga bukan ide yang buruk untuknya. Apalagi jika ditemani oleh wanita yang saat ini sedang berada di depannya.

Suasana di dalam museum tidak begitu ramai, sehingga mereka masih dapat menikmati semua karya seni yang terpampang diseluruh penjuru ruangan dengan tenang. Semua pengunjung terlihat takjub dengan pemandangan dari berbagai macam lukisan dan patung yang disuguhkan di dalam museum ini, termasuk Leona. Wanita itu juga sudah mulai sibuk mengabadikan keindahan tersebut. Begitu pula dengan Kleo yang sudah lebih dulu mengabadikan salah satu keindahan yang ada di depannya.

Tidak terasa kini waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, yang berarti sudah hampir setengah hari mereka habiskan untuk menelusuri setiap sudut yang ada di museum ini. Senang, itu yang mereka berdua rasakan, sehingga membuat waktu berjalan begitu cepat tanpa mereka sadari.

“Masih mau muterin museumnya sekali lagi?”

“Hahaha no. Gue udah puas kok liat-liat semuanya. Makasih udah ajak gue ke sini.. Kleo.” Leona memelankan suaranya ketika ia menyebut nama pria itu. “Kenapa?” Kleo dibuat bingung oleh wanita itu.

“Takut nanti ada yang ngenalin lo kalo gue manggilnya keras-keras.” bisik Leona sambil memperhatikan sekitar memastikan bahwa tidak ada orang yang sedang melihat ke arah mereka saat ini. Kleo terkekeh, “Le, yang namanya Kleo gak cuma gue. Lo gak perlu panik gitu.”

Leona mengerutkan keningnya, “Tapi yang namanya Kleo anggota stardust yang muka kaya gini kan cuma lo doang. Siapa tau nanti ada fans lo di sini.” bantah Leona. Leona benar-benar khawatir jika ada seorang fans yang melihat mereka berdua dan dapat menimbulkan masalah, terutama untuk Kleo. “Yaudah kalo gitu sekarang kita langsung pindah ke tempat buat dinner aja yuk, di sana gue reservasi vip room jadi gak bakal ada yang bisa merhatiin kita.” ajak Kleo sambil mengenakan kembali topinya agar penampilannya sedikit tersamarkan. Dan Leona pun dengan senang hati mengangguk setuju.

Setelah kurang lebih dua puluh menit Leona berkutat dengan para penonton lain untuk keluar dari venue acara, akhirnya kini ia telah sampai di halaman belakang parkir tempat itu. Di sana ia melihat pria yang sudah sedari tadi telah menunggunya, “Hai.”

I miss you.

Itu kalimat pertama yang keluar dari mulut pria itu. Sembari ia membukakan pintu mobil di sebelahnya dan mempersilakannya masuk.

“Gimana hari ini gue keren gak?”

“Keren. Lo selalu keren.” jawab Leona sambil memasang sabuk pengamannya.

Mendengar jawaban yang keluar dari mulut wanita itu, Kleo spontan terkekeh, “Are you really my biggest fan, huh?

I am.

Thank you.” Kleo mengusap gemas kepala wanita itu dan mulai menjalankan kemudinya keluar dari area parkir, membelah keramaian kota San Diego malam ini. Tidak lupa ia pun memilih rute terjauh untuk menuju hotel tempat Leona menginap agar ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama dengan wanita itu.


Setelah sekitar satu jam Kleo berhasil membawa Leona berkeliling dan menikmati indahnya gedung-gedung tingkat yang dihiasi oleh lampu malam kota San Diego, akhirnya kini mereka telah tiba di lobby hotel tempat Leona menginap.

Kleo ikut menuruni mobilnya dan membukakan pintu untuk Leona, “Gue anterin sampe atas. Takut lo nyasar.” Kleo membawa tas besar berisi kamera milik Leona dan berjalan mendahuluinya.

“Yang ada lo yang bakal nyasar. Lo bahkan gak tau kamar gue ada di mana.” balas Leona sambil menggelengkan kepalanya, berjalan menyusul pria itu.

Sampai akhirnya mereka pun menaiki elevator menuju lantai tujuh tempat di mana kamar Leona berada. Setelah tiba dan memastikan bahwa Leona sampai di depan kamarnya dengan aman, Kleo memutuskan untuk segera berpamitan pulang. “Ok, I will text you when I got to the hotel. Good night camera girl.

Kleo sibuk berkutat dengan ponselnya, bosan menunggu salah satu temannya, Auryan, yang sejak lima belas menit lalu izin untuk pergi ke kamar mandi, namun hingga kini ia tak kunjung kembali.

“Lama banget anjir Ryan lo lagi mandi kembang apa gimana.” keluh Kleo mulai kesal. Ia meletakkan kembali ponselnya sebab tidak ada yang menarik di sana. Kegiatan menunggunya kini berganti menjadi memperhatikan orang-orang yang sedang berlalu lalang dari balik kaca restoran yang sedang ia singgahi.

Sudah ada puluhan orang yang ia lihat melintas di depannya, namun ada satu wanita yang menarik perhatiannya. Wanita itu terlihat baru saja keluar dari sebuah tempat bertulisan Los Angeles County Museum of Art dan kini wanita itu sedang menyebrangi jalan menuju ke arahnya.

Wanita itu melintas melewatinya dari balik kaca besar pemisah antara restoran dan jalanan di luar sana. Maka dengan cepat Kleo bergegas keluar dan pergi mengejar wanita itu.

Hey, camera girl.

Sudah tidak asing dengan panggilan itu, Leona pun menghentikan langkahnya. “Leona. My name is Leona.

But I like camera girl more. That's cute and suits you the most.” jawabnya.

Okay. It's up to you.” Leona malas mendebatkan hal itu.

“Lo abis dari museum? Gue liat lo tadi abis keluar dari sana. Terus sekarang mau ke mana?”

“Iya gue abis dari LACMA. That museum is incredibile. Kalo lo suka seni, lo wajib sih ke sana. Dan sekarang gue mau nyari makan. Laper seharian muter-muter di sana.”

“Kalo gitu ayo ikut gue. Gue tau restoran enak di sekitar sini. Sekalian gue mau lihat hasil foto-foto lo dari museum itu. Cause I know for sure, your photos will be amazing too.

Kleo dengan santai meraih tangan mungil Leona dan membawa gadis itu pergi ke tempat yang ia maksud.

Kleo membuang begitu saja puntung rokok terakhirnya ke dalam bak sampah yang berada tak jauh darinya. Pria itu sejak 30 menit lalu sudah berada di sekitar lahan parkir stadium tempat ia dan grupnya menyelenggarakan konser.

Ia kian memperhatikan satu persatu manusia yang melintas di sana, sejak suasana masih cukup ramai sampai suasana sepi seperti saat ini, yang hanya menyisakan beberapa orang staff yang sedang membereskan tempat itu. Hingga kemudian wanita yang ia tunggu melintas.

Hey, camera girl.

Wanita yang kebetulan sedang membawa kameranya itu pun spontan menoleh ke arah sumber suara, “Kleo?”

Pria itu mengangkat salah satu tangannya.

What took you so long to get out of that place? I've been waiting a long time here.” ujar Kleo saat ia berhasil menghampiri wanita itu.

Why are you waiting for me?

Mhm, no reason. I just wanna meet you. And see how's those photos turned out after you took it.

Leona benar-benar tidak habis pikir dengan pria di hadapannya ini. Sangat tidak bisa ditebak.

Ketika Leona ingin mengeluarkan kameranya, tangan Kleo menariknya. “You can show it later in my car, while I take you home.

Tanpa menunggu jawaban dari Leona, Kleo sudah lebih dulu bergegas membawa wanita itu masuk ke dalam mobilnya.

Dan benar saja, pria itu sungguh mengantarkannya pulang malam ini. Kini mobil mereka telah terparkir di basement hotel tempatnya menginap.

“Mana mau liat dong hasil foto-foto lo tadi.” Kleo memutar sedikit badannya menghadap bangku penumpang di sebelahnya.

Kemudian Leona mengeluarkan kameranya dan menunjukkan beberapa hasil jepretannya hari ini.

“Oh ini pas gue nyanyiin lagu alone.” “Di sini gue belum nemuin keberadaan lo.” “Oh liat-liat ini gue mulai tau lo ada di mana.” “Hahaha di sini gue lagi liatin lo.”

Kira-kira seperti itulah celotehan-celotehan yang dikeluarkan oleh Kleo setelah melihat foto-foto dirinya yang ada di layar kamera Leona. Yang tanpa sadar menjadi sebuah alasan mengapa senyuman Leona saat ini merekah.

Seperti hari-hari biasanya, menu sarapan pagi seorang Leona Edrea tidak lain dan tidak bukan adalah segelas kopi americano. Sebab, wanita itu sangat mencintai kopi. Atau bahkan dapat dikatakan bahwa setiap harinya ia lebih sering meminum kopi daripada air mineral. Sungguh kebiasaan yang sangat tidak baik untuk ditiru.

Dan suasana pagi ini yang sangat cerah mampu membangkitkan semangat Leona untuk mengunjungi salah satu kedai terdekat dari penginapannya, agar segera dapat menikmati segelas kopinya hari ini.

Ditemani dengan segelas americano itu, Leona pun mulai membuka laptopnya dan mulai melakukan pekerjaannya, yaitu menyunting beberapa hasil jepretannya yang ia ambil pada konser semalam.

“Itu foto gue kan?” Suara itu mengejutkannya.

Kleo. Pria itu kini sedang berdiri di sampingnya.

“Itu beneran foto gue kan? Lo nonton konser yang semalem?” tanya lagi.

Leona hanya mengangguk sambil mencoba menutup laptop miliknya. Otaknya tidak dapat bekerja dengan baik karena ia baru saja tertangkap basah sedang mengagumi foto-foto pria itu tepat di depan hadapannya.

Wow. That was cool.

Thanks.

You coming tonight? I mean, to my concert again?

Ya, absolutely yes.

Gre—”, belum sempat Kleo melanjutkan pembicaraannya, dering ponsel di saku celananya berbunyi.

Bang Darren, nama itu yang tertera di sana. “Shit.

Tanpa ada niat untuk mengangkat telpon tersebut Kleo segera bergegas untuk meninggalkan kedai kopi itu. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti tepat di depan pintu keluar, ia membalikkan punggungnya dan mencari kembali keberadaan gadis yang baru saja ia temui itu.

See you tonight i guess? I'll find you.”

Sudah satu bulan sejak Hima diperbolehkan untuk pulang kembali ke rumahnya. Dokter mengatakan bahwa semua lukanya telah sembuh.

Namun, ia rasa luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh. Bayangan akan gadis itu masih teringat jelas di benaknya.

Minggu pagi ini, Hima sengaja memutuskan untuk merapikan kembali kamarnya yang telah lama tidak ia huni. Membereskan barang-barang yang berantakan akibat ulahnya hari itu.

Saat ia hendak merapikan meja belajarnya, matanya tiba-tiba tertuju pada satu buah barang yang sangat ia kenal. Tape bertulisan “she sounds more like heaven”.

Benda itu. Benda yang sengaja ia beli untuk dijadikan tempat ia menyimpan semua rekaman suara dari gadis yang selalu menyanyikan lagu untuknya agar terhindar dari mimpi buruk menyeramkan itu.

Bagaimana bisa benda itu ada di sini?

Hima mengambil alat pemutarnya dan menyetel tape tersebut.

Suara itu. Suara itu sama persis seperti suara yang selalu ia dengar saat bersama gadis kesayangannya itu.

“Je..” tangannya meremas keras tape tersebut. Menyalurkan segala kerinduan yang tak dapat tersampaikan.

Sehingga ia hanya mampu mendengarkan alunan demi alunan yang tersisa melalui tape tersebut sambil menikmati langit sore di pekarangan rumahnya.

Sampai kemudian datang seorang perempuan yang berdiri di depan pagar rumahnya, membawa satu piring berisi kue.

“Permisi.. Saya mau nganterin kue ini dari Mama. Sekalian mau ngasih tau kalo kita sekeluarga baru pindah ke sini. Rumah yang di sebelah.” ucap gadis itu memperkenalkan dirinya.

Tubuh Hima seketika membeku. Lidahnya kelu. Jantungnya berdetak diluar kendali.

Wajah itu, suara itu, dan senyuman itu, semuanya sangat ia kenali. Semua hal yang ia rindukan kini tepat berada di hadapannya.

Benarkah gadisnya itu kembali?

Sinar cahaya putih itu memaksanya untuk segera membuka mata. Maka dengan terpaksa Hima mulai membuka kedua matanya sedikit demi sedikit, asing, tempat ini asing baginya. Ini bukan kamar tidurnya tempat ia biasa terbangun di pagi hari.

Hima mulai memperhatikan sekitarnya, tangan kanannya terhubung dengan alat rumah sakit, begitu juga dengan hidungnya, lalu di sebelah kirinya terdapat sosok Bundanya yang sedang terlelap sambil menggenggam tangannya.

Rumah sakit. Itu yang dapat ia simpulkan setelah mengetahui keadaannya saat ini. Apa yang terjadi pada dirinya sampai bisa berada di sini?

Jeje. Satu nama itu terlintas dipikirannya. Di mana perempuan kesayangannya itu? Apakah perempuan itu tau kalau ia sedang berada di sini? Apakah perempuan itu akan segera datang menjenguknya? Rindu. Ia sangat rindu dengan perempuan itu. Karena hanya pelukan hangat dari perempuan kesayangannya itu yang bisa menjadi obat terampuh untuk dirinya.

“Hima sayang? Aa udah sadar?” suara dari Bundanya itu menghancurkan lamunannya.

“Ya ampun syukurlah.” kini tubuhnya didekap erat oleh sang Bunda, selagi beliau mengucapkan beribu kata syukur karena putra satu-satunya ini telah sadar kembali.

“Bun, Jeje mana? Dia udah tau kalo Hima ada di sini?”

Sang Bunda terlihat bingung, tidak mengerti apa yang baru saja anaknya katakan.

“Jeje? Jeje siapa, a? Temen aa? Kok Bunda gak pernah denger.”

“Jeje pacar Hima, Bunda. Anak gadis kesayangan Bunda, tetangga sebelah rumah kita.” jelasnya panik, entah mengapa hatinya tak tenang mengetahui bahwa Bundanya tidak lagi mengenali kekasihnya itu.

“Aa sebentar ya sayang, Bunda panggilkan dokter dulu. Aa jangan banyak pikiran dan banyak gerak dulu ya.” titah Bundanya.

Kemudian seorang dokter datang bersama dengan dua suster yang mendampinginya. Mereka pun dengan cepat memeriksa keadaannya. Mulai dari denyut jantung, penglihatan, sampai dengan semua alat yang terpasang di tubuhnya.

“Ibu, sekarang kondisi anak ibu sudah dapat dikatakan membaik. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya di mana ia akhirnya dapat tersadar dari keadaan koma yang dialaminya selama dua bulan terakhir ini. Tetapi, mungkin ingatan dan fungsi kerja tubuhnya masih belum maksimal. Jadi mohon untuk dibantu pelan-pelan ya, Bu.”

Koma? Selama dua bulan?

“Bunda ini ada apa sih? Sebenarnya Hima kenapa? Kasih tau Hima, Bunda.”

“Aa tenang dulu ya, Sayang. Iya Bunda kasih tau Aa tapi pelan-pelan ya, a.” Bundanya mencoba menenangkannya. Dielusnya lembut helai demi helai rambut putranya itu.

“Aa, aa inget kan kalo Ayah udah gak ada?” Hima mengangguk. Bundanya masih setia mengusap-usap rambutnya penuh kasih.

“Terus aa inget gak apa yang terjadi hari itu?”

Hima menggeleng.

“Hari itu, di hari pemakaman Ayah, aa terlihat gak baik-baik aja, aa selalu murung sepanjang hari. Putra bunda yang dulu selalu dikenal hangat dengan senyuman manisnya, tiba-tiba hari itu hilang, berubah menjadi awan gelap dengan gemuruh yang menakutkan.”

“Aa menyalahkan diri aa sendiri akibat apa yang terjadi hari itu. Menepis semua fakta kalau itu semua bukan salah aa sayang, tapi itu memang sudah takdir dari Yang Maha Kuasa.”

Hima terdiam mengingat betapa menyakitkannya hari itu. Hari kepulangan Ayahnya. “Terus kenapa sekarang Hima bisa ada di sini, Bunda?”

“Hari itu kamu kecelakaan. Atau lebih tepatnya kamu mencoba mencelakakan diri kamu sendiri. Sore itu, usai pemakaman Ayah, kamu pergi mengendarai motor, padahal di luar sedang hujan deras dan Bunda bahkan gak bisa buat mencegah kamu, a. Saat itu Bunda khawatir, sangat khawatir karena Bunda gak ingin merasakan kehilangan lagi. Bunda cuma punya kamu, Sayang.”

“Sampai akhirnya pukul delapan malam Bunda mendapat kabar kalau kamu mengalami kecelakaan. Hati Bunda hancur untuk yang kedua kalinya hari itu.”

“Tetapi syukurlah ternyata Tuhan masih mau mendengarkan doa-doa Bunda dan Tuhan masih sayang sama kamu. Karena sekarang kamu masih ada di sini bersama Bunda, meskipun harus mengalami masa kritis yang mengkhawatirkan selama dua bulan ini.” Rasa haru terpancar dari raut wajah Bundanya, merasa lega bahwa kini putra satu-satunya itu dapat kembali bersamanya.

Hima masih mencerna setiap kata demi kata yang diucapkan oleh Bundanya itu. Sedikit demi sedikit ingatannya kembali berputar di kepalanya.

Ternyata, beribu-ribu kenangan buruk itu nyata adanya. Sedangkan, kenangan indah yang saat ini ia rindukan hanya bunga tidur semata. Mimpi yang menemaninya selama dua bulan terakhir dalam tidur panjangnya. Semua ini terasa tak adil, mengapa hal itu terasa begitu nyata?

Bagaimana mungkin itu semua hanya mimpi? Bagaimana mungkin hal yang mati-matian ia coba untuk lupakan ternyata nyata adanya sedangkan hal-hal yang sangat ia harapkan terjadi malah hanya sebatas mimpi?

Gadis itu, gadis yang menolongnya bangkit dari keterpurukan, gadis dengan senyuman termanis yang pernah ia lihat, gadis dengan pelukan terhangat yang mampu menenangkannya, gadis yang berhasil membuatnya jatuh sedalam-dalamnya, gadis yang nyatanya tidak pernah ada di hidupnya.

Sekarang ke mana ia harus pulang? Ke mana ia dapat merasakan kembali kebahagiaannya? Rumahnya kini telah hilang, hilang direngkut oleh kesadarannya sendiri.

Andai ia tahu akan seperti ini jadinya, mungkin sebelum terbangun ia pasti sudah akan mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas kasih sayang yang perempuan itu berikan padanya, memeluknya erat, dan enggan untuk melepasnya agar gadis itu dapat terus bersamanya.

Namun sayang semua itu sudah terlambat. Sekali pun ia memaksakan diri untuk kembali tertidur, gadis itu sudah tidak akan ada lagi di sana. Gadisnya telah hilang bersama dengan semua kenangan yang sempat mereka ukir bersama.

“Aa, tadi aa bangun-bangun nanyain Jeje? Jeje teh siapa? Nanti kenalin ke Bunda dong, a.”

“Jeje. Salah satu malaikat cantik yang mungkin sengaja dikirimkan Tuhan untuk jadi obat penyembuh buat Hima. Nanti Hima kenalin kalo dia dateng lagi ke mimpi Hima ya, Bun.”

fin.

Waktu sudah menunjukan pukul 10.00 yang berarti bahwa Asya dan ketiga temannya akan segera berangkat dan kembali ke Tanah Air.

Tak lupa Mika juga ikut serta mengantarkan teman-temannya ke Bandara.

Safe flight ya guys.” ucap Mika kepada keempat temannya itu.

“Mik, lo juga baik-baik disini. Gausah sombong lo, awas aja gue tinju ntar kalo lo lupa sama kita-kita.” jawab Rendi.

“Walaupun gue iri sama lo tapi take care ya, Mik. Jaga diri lo baik-baik disini.” kini giliran Karin yang berpamitan.

“Baik-baik lo, cepet jadian sama gebetan lo biar gak gangguin cewek gue lagi.”

Mika terkekeh mendengar pesan dari Hansel.

Dan kini terakhir saatnya Asya yang akan berpamitan dengan Mika.

“Mika, kayanya gue beneran bakal kangen deh nanti sama lo. Makasih ya Mik selama satu tahun ini lo udah ambil peran sebagai kakak gue. Gue bersyukur banget karena lo udah mau repot-repot jagain gue disini. Lo jaga kesehatan sama jaga diri baik-baik. Kalo lo pulang ke Indonesia jangan lupa kabarin kita-kita pokoknya.”

Mika tersenyum, “Iya, Sya. Lo juga jaga diri ya disana. Sekarang kan udah ada Hansel yang bakal jagain lo, jadi gue gak perlu khawatir lagi.”

“Lo juga cepet cari pacar makanya biar ada yang ngurusin disini.”

“Gampang itu mah. Ohiya salam juga buat bokap nyokap lo, bilangin maaf gue belum bisa main ke rumah lagi hahaha.”

“Hahaha tenang nanti gue sampein.”

Pengeras suara pun berbunyi tanda bahwa mereka harus segera melakukan boarding, membuat mereka saling berpelukan mengisyaratkan tanda perpisahan.

Perpisahan dengan negara tetangga, perpisahan dengan program yang telah mereka jalani, perpisahan dengan semua kenangan yang tercipta dan perpisahan dengan orang-orang yang telah dianggap menjadi keluarga sendiri.

Semua yang dimulai cepat atau lambat akan diakhiri. Contohnya, program student exchange yang diikuti oleh Asya dan teman-temannya. Begitu pula dengan cerita ini. Mari kita akhiri sampai disini.